Oleh: Refael Molina
Kolumnis;
Warga Kota Kupang
Wisata
itu mahal. Demikian pernyataan tegas Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT), Vicor
B. Laiskodat yang ingin menjadikan pariwisata NTT menjadi prime mover (penggerak
utama) pembangunan demi “NTT bangkit menuju sejahtera.” Pernyataan super itu disampaikan
kala dialog Pemerintah Provinsi NTT dengan Civitas Akademika/Pimpinan Lembaga
PT sedaratan Timor, Alor dan Rote Ndao Tahun 2018 yang digelar di Hotel Aston,
Kupang, Rabu (21/11).
Analogi Gubernur
Gubernur
menganalogikan pariwisata NTT itu ibarat gadis manis asal Pulau Semau,
Kabupaten Kupang yang didandan dengan pakaian, di-make up, diberi lipstick,
aksesoris dan parfum super mahal, tetapi selama ini gadis itu dinikmati semua
orang dengan harga murah-meriah. Itulah gambaran kenyataan pariwisata NTT pada
masa lalu. Padahal, dengan dandanan yang cantik, gadis manis itu seharusnya
hanya bisa dinikmati orang-orang yang memiliki cukup uang. Pariwisata NTT,
misalnya Taman Nasional Komodo (TNK), selama ini hanya dipatok tariff Rp 150
ribu, menurutnya, sangat murah. Jika Komodo hanya satu-satunya di dunia, maka
siapa saja yang ingin melihat, terutama para wisatawan manca negara (wisman),
maka harus merogok kocek paling kurang sekitar US$ 500
atau minimal Rp 7 juta. Jika menggunakan kapal maka harus membayar US$ 50.000 atau
sekitar 700 juta. Tak hanya TNK, taman laut di Kabupaten Alor maupun
di Labuan Bajo, Manggarai, Flores pun disentil Gubernur.
Pulau Kepa, salah satu destinasi wisata di Alor. Sumber: google.com |
Menurutnya,
ke depan, orang-orang yang melakukan diving maupun snorkeling harus diperiksa
usai mereka melakukan diving, agar mengantisipasi kekayaan laut diambil atau
dirusak. Gubernur mengaku, akan mendiskusikan dengan pemerintah pusat, karena
selama ini pengelolaan TNK berada di tangan pemerintah pusat. Masyarakat NTT
tentu mengharapkan langkah berani dan konkrit dari Politisi Partai NasDem itu.
Minimal, kebijakan Gubernur agar tarif masuk tempat wisata dinaikan agar
kemudian bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) NTT.
Posisi Masyarakat
Jika
kemudian tarif masuk tempat wisata, baik alam, budaya, bahari religi di NTT,
maka posisi masyarakat NTT yang ingin merasakan wisata di NTT akan semakin tergeser.
Itu karena mahalnya tarif masuk ke tempat wisata. Dikhawatirkan, masyarakat NTT
menjadi tamu di negeri sendiri. Masyarakat harus menikmati wisatanya sendiri
dengan tariff yang amat mahal.
Akhirnya,
masyarakat tak sedikit yang tidak bisa menikmati wisatanya sendiri. Jika kita
menengok ke tempat lain di Indonesia, misalnya, tariff masuk Tangkuban Perahu bagi wisatawan domestik di
hari kerja sebesar Rp 20 ribu sementara hari libur Rp 30 ribu. Sedangkan tarif
masuk bagi Wisman Rp 200 ribu di hari kerja dan Rp 300 ribu pada hari libur. Tarif itu belum termasuk tarif
kendaraan. Untuk kendaraan roda 2 Rp 12 ribu, roda 4 Rp 25 ribu, roda 6 Rp 110
ribu, sepeda Rp 7 ribu untuk hari kerja. Sedangkan untuk hari libur, tarif
masuk kendaraan rata-rata naik Rp 5 ribu (travel.detik.com, Jumat 7 Juli 2017).
Selain itu, seperti dilansir dari travelingyuk.com menyebutkan, turis
Asing di Borobudur, sejak tanggal 1 Mei 2017 lalu, PT Taman Wisata Candi
Borobudur, Prambanan dan Ratu Boko menaikkan harga tiket masuknya.
Bagi
wisatawan domestik, biaya yang dibutuhkan untuk masuk ke salah satu candi keren
tersebut sebesar Rp40.000, naik Rp10.000 dari harga sebelumnya. Sementara tiket
masuk untuk turis asing mencapai US$ 25 atau sekitar Rp350.000. Ternyata,
perbedaan tiket masuk wisman dan wisatawan domestik ini tidak hanya karena
kebijakan dari pemerintah. Namun, tiket masuk ke Candi Borobudur, Prambanan dan
Ratu Boko memang sesuai dengan angka tersebut untuk bersaing dengan objek
wisata internasional lainnya. Dengan begitu, posisi masyarakat setempat, atau
WNI tidak akan kesulitan menikmati wisatanya sendiri.
Perlu Gerakan Nasional
Hemat
saya, perlu gerakan nasional untuk meningkatkan tarif wisata di Indonesia.
Tarif masuk di semua tempat wisata, terutama objek wisata internasional di
Indonesia perlu dinaikan. Ini agar para wisatawan terutama mancanegera tidak
memilih objek wisata internasional lain ketika melihat tariff masuk objek
wisata yang dituju terlampau mahal. Misalnya, jika mereka ingin mengunjungi
TNK, tetapi tarif masuk terlampau mahal, maka mereka bisa pindah ke tempat
wisata lainnya yang lebih murah.
Namun, jika semua tempat wisata sertentak mematok
harga yang tinggi, maka para wisatawan mancanegara tetap akan memutuskan untuk
mengunjungi tempat wisata yang ingin dikunjunginya, tanpa harus memilih tempat
wisata lainnya. Jika ditilik lebih jauh, selama ini tariff masuk taman
nasional, termasuk TNK ditentukan berdasarkan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif atas
Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kementerian
Kehutanan sebagai revisi atas PP Nomor 59 Tahun 1998 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara
Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
Karena
itu, upaya Gubernur untuk mendiskusikan dengan pemerintah pusat sangat dinanti
masyarakat NTT, terutama kekuatan lobi untuk mengubah tarif PNBP pada
objek-objek wisata kita, bahkan meminta Presiden dan kementerian terkait untuk
merevisi PP Nomor 12 Tahun 2014 yang kini sedang berlaku. Dengan begitu mimpi
Gubernur meningkatkan PAD melalui pariwisata bisa terwujud, dan alhasil NTT
bisa bangkit menuju sejahtera melalui prime
mover pembangunan di bidang pariwisata.
Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini Harian Victory News edisi Kamis, 29 November 2018.
Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini Harian Victory News edisi Kamis, 29 November 2018.
0 Comments