Subscribe Us

header ads

CERPEN: Ayahku Seorang Nelayan


Oleh: Refael Molina*)


Para nelayan Biatabang, Desa Ternate Selatan, 
Kecamatan Alor Barat L aut, Alor sedang 
melepaskan ikan di jala. Foto diambil bebrapa
 waktu lalu (foto:felix hamma)

 DIdusun yang mungil, desa yang kecil, dan pulau yang terpencil, tempat dimana kami hidup adalah alam yang kaya. Namun, alam kami berbeda dengan alam di desa lain, karena kekayaan alam di desa kami tak banyak ditemui di darat. Kekayaan itu hanya bisa ditemukan di laut. Dan, untuk mendapatkannya pun tak mudah. Butuh perjuangan bahkan pengorbanan. Kondisi alam ini pun kemudian membentuk kehidupan sosial bahkan pola hidup masyarakat di sana, termasuk dalam menentukan jenis mata pencaharian yang tepat. “Nenek moyang kita orang pelaut,” begitulah kalimat yang setiap kali diucapkan Ayah ketika aku bertanya tentang pekerjaan Ayahku dan orang-orang di desa kami.
Ayahku pun sering mengatakan: “Seperti yang kamu lihat dari keseharian Ayahku dan orang-orang di desa kita.”  Mencari ikan dan hasil laut lainnya adalah aktivitas yang selalu dilakukan Ayahku setiap hari. Itu dilakukan Ayahku untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dan, selebihnya untuk biaya pendidikan Aku dan keempat saudaraku. Sedangkan Ibuku adalah seorang Ibu Rumah Tangga biasa, yang kesehariannya menyelesaikan beribu-ribu pekerjaan di dalam rumah. Selain itu, Ibuku juga pandai menenun. 

Menenun sarung dan selendang dengan beragam motif etnik selalu menjadi bagian dari pekerjaan ibuku, selain melakukan pekerjaan bagai Ibu Rumah Tangga. Maklum, ibuku tak ingin menyusahkan Ayahku, lantaran hasil laut tangkapan Ayah sering tak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan setiap hari, apalagi dijual untuk mendapat sedikit rupiah. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, pada umumnya masyarakat di desa kami sebagian besar harus meneteskan keringat mereka di pantai dan laut; di atas perahu-perahu kecil yang tak bermesin.
Seiring waktu berputar, aku pun mulai mengerti apa yang dilakukan Ayahku. Ternyata apa yang diucapkan Ayahku telah lama menjadi semboyan di desa kami. “Nenek moyang kami orang pelaut,” begitulah semboyan yang selalu terdengar di desa kami. Dan, itupun biasanya diucapkan Ayah ketika ibuku menahan Ayahku pergi melaut disaat gelombang laut ‘mengganas’ akibat musim barat. Bulan Januari hingga Februari atau bahkan hingga pertengahan Maret merupakan rentan waktu yang sering menjadi momok menakutkan bagi Ibuku kala Ayahku terpaksa harus melaut. Sungguh pada rentan waktu itu, hujan dan badai hebat akan menemani Ayah melaut menggantikan perahu-perahu kecil dan pelampung-pelampung nelayan yang berlabuh dan terapung di pantai.
Sungguh keindahan ketika ditemani hujan dan badai berbeda, ketika ditemani perahu-perahu kecil dan pelampung-pelampung nelayan lainnya. Belum lagi, gelombang laut yang siap mengombang-ambingkan perahu Ayah ku, bahkan dikala Ayahku berenang dan menyelam dilaut mencari Ikan. Ayahku dan beberapa nelayan di desa kami memang nelayan yang ramah lingkungan. Mencintai alam pun tidak saja dilakukan para petani atau para pemerhati lingkungan atau para petani.
Namun, Ayahku dan beberapa nelayan di desa kami pun sungguh mencintai alam, teutama di laut. Itu dapat dilihat dari cara Ayahku menangkap ikan. Hanya menggunakan ‘bubu’, jala, alat pancing dan ‘bareke’. Ke empat alat penangkap ikan ibilah yang aku sebut sebagai alat ramah lingkungan. Padahal, di jaman modern yang serba instan ini banyak nelayan kini menggunakan potas ikan dan bom untuk menakap ikan. Car-cara tersebut bagi Ayahku memang cepat mendapat ikan. Namun, dampak buruknya akan dirasakan kemudian.
Dampak buruk yang akan dirasakan saat ini adalah ikan-ikan yang ditangkap menggunakan potas atau bom akan mengandung zat beracun, dan tentu bila dikonsumsi maka akan mengganggu kondisi kesehatan kita. Dan, dampak buruk pada masa mendatang adalah alam bawah laut kita akan rusak, dimana hasil-hasil laut termasuk ikan akan berkurang, karena biota-biota dan terumbu karang tempat ikan-ikan bernaung ikut punah akibat portas dan bom. Dan, ituh butuh ratusan tahun untu pemulihan. Ternyata Ayahku sungguh paham, alam bawah laut memiliki peran penting untuk menjaga keseimbangan alam ini.

Para nelayan Biatabang, Desa Ternate Selatan, Kecamatan Alor 
Barat L aut, Alor sedang menghitung jumlah ikan, hasil tangkapan
mereka bebrapa waktu lalu (foto:felix hamma)
Bila alam bawah laut terganggu, maka rantai makanan untuk manusia pun akan terputus, dan akhirnya keseimbangan alam bisa terganggu. Dampak buruknya adalah terjadinya pemanasan global saat ini. Dampak secara langsung yang dapat dialami adalah menurunya populasi ikan, sehingga hasil tanggapan ikan pun kian menurun. Kini Ayahku mengaku, harus lebih bekerja kera untuk menangkap ikan. Tak heran, Ayahku harus berlayar menelusuri satu pulau-ke pulau yang lain untuk menangkap ikan. Berlayar menuju pulau yang satu dengan yang lain, biasanya memakan waktu dua atau tiga hari tergantung kecepatan perahu layar dengan jarak tempuh.
Ayahku mengisahkan, di zaman ayah masih muda, para nelayan masih menggunakan layar dan ‘dayung’ untuk menggerakkan perahu berlayar menuju satu pulau ke pulau yang lain. Namun, saat ini, dengan kemajuan teknologi, banyak perahu yang sudah dipasang mesin penggerak sehingga memudahkan nelayan. “Dulu, ketika masih muda, Ayah dan beberapa nelayan lainnya hanya mengandalkan perahu-perahu kecil yang dilengkapi dengan layar dan dayung untuk berlayar dari satu pulau ke pulau yang lain,” kisah Ayahku.
Di pulau seberang, biasanya ayahku dan nelayan yang lain menghabiskan waktu satu hingga dua bulan untuk menagkap ikan dan hasil laut lannya seperti teripang dan kerang laut. Mungkin keringat Ayahku beda dengan keringat para petani, dan kuli bangunan. Menghabiskan energi dengan bertarung  melawan arus dan gelombang laut. “Apalagi di saat musim hujan, gelombang laut semakin tinggi dan badai siap mengombang-ambingkan perahu,” kata Ayah. Meski begitu Ayahku tetap tegar dan semangat menghadapi tantangan itu. Patut bila Ayahku sering mengingatkan ku, agar selalu tegar dan berani menghadapi kerasnya hidup ini. Aku jadi heran, karena kata Ayah: “Menangkap ikan dilaut sebagai nelayan memang beresiko tinggi. Ayah dan nelayan lainnya harus rela menggantikan kaki dengan kepala, dan kepala dengan kaki.”
Awalnya Aku tak mengerti apa maksud Ayah, kaki menggantikan kepala dan kepala menggantikan kaki. Ayahku lalu menjelaskan posisi saat para nelayan biasa mulai menyelam, maka yang terlihat adalah posisi kepala berada di bawah dan kaki di atas. Sungguh itu sangat berbeda. Cara mengais rupiah yang dilakukan Ayahku sungguh sangat beresiko tinggi. Hingga sampai hari ini Ayahku masih mengandalkan fisik dan kemampuannya dalam mengatur nafas untuk menyelam. Ini sungguh berbeda dengan para nelayan lainnya di masa kini, lantaran banyak nelayan modern kini mulai beramai-ramai menggunakan bantuan alat pernapasan, sehingg bisa menarik nafas dengan bebas meki  berada di dasar laut.
Kendati demikian, Ayahku tak mau menggunakan alat bantu pernapasan itu. Hal ini pulalah yang membuat fisik ayahku semakin hari semakin tak kuat. Namun, Ayahku sering menyembunyikan kelemahannya. Tatapan dan raut wajah Ayah tak ubahnya fajar pagi yang selalu menyinari alam ini. Itu yang selalu dilakukan Ayah. Dalam kondisi sulit apapun, Ayahku tak mengeluarkan kata-kata dan bahawa pengeluhan kepada kami, anak-anak, apalagi bagi Ibuku.
Ayahku hanya takut, jangan-jangan kami pun turut terbawa dalam kondisi Ayah yang mulai lemah dan tak berdaya, hingga akhirnya pergi meninggalkan Ayah dan rumah. Kini usia senja pun mulai menghampiri Ayah. Namun, Ayahku masih saja melaut, meski hanya di pantai desa kami. Ayahku tak bisa lagi berlayar menuju satu pulau ke pulau lain untuk mengais asa dan masa depan untuk anak cucu ke depan. Semangat Ayah adalah semangat kami. Di balik fisiknya yang kian melemah, namun ada jiwa yang kuat, tabah dan tegar.
Nasehat Ayah yang selalu Aku ingat adalah: “Jangan pernah malu mengatakan kepada teman-temanmu atau orang lain bahwa Ayah adalah sorang nelayan.” Apa yang dikatakan Ayah bukan tanpa alasan, karena di masa kini, banyak orang yang gampang menyangkal terhadap orang tua. Itulah mengapa Ayahku selalu mengingatkan Aku dan saudara-sauariku tentang nasehat itu. “Kehidupan sederhana menjadi nelayan atau pun anak nelayan akan lebih mulia bila kita memaksa hidup dalam berkelimpahan, namun dengan cara-cara yang tak terpuji, merampok dan merampas apa yang bukan hak kita.”
Sungguh Ayahku memahami bahwa hidup dalam kesederhanaan yang penuh dengan kebahagiaan dan kedamaian jauh lebih berharga, daripada hidup dalam kemewahan, namun tak pernah merasa kebahagiaan dan kedamaian. Dengan jerih lelah Ayah sebagai nelayan, Aku merasa bangga bisa menempuh pendidikan. Namun rasa bangga yang sesungguhnya adalah apa yang telah Aku peroleh dari kehidupan sebagai anak seorang nelayan yaitu tentang nilai-nilai kehidupan; perjuangan, pantang menyerah, sabar, tabah, mawas diri, tulus membantu, hidup dalam kesederahanaan, tetap menciptakan suka cita dalam kondisi sulit adalah nilai-nilai yang tak pernah Aku temui di bangku pendidikan ku saat ini. Yang lebih mencengangkan dan menarik adalah, Ayahku pun selalu mengajarkanku agar selalu berdoa, meski dalam keadaan sulit. Bukan tanpa alasan, karena aku pernah mendngar suara tangis Ayah ketika berdoa di kamar. Padahal, sehari sebelumnya, ibuku mengeluh kepada Ayah, stok makanan sebulan kami habis.  
Sungguh Aku sadar, tempat mengenyam pendidikan yang paling utama adalah lewat ajaran dan didikan Ayah ataupun Ibu di rumah. Aku hanya berharap, di usia senja Ayahku, Aku dan saudara/saudariku bisa berusaha menciptakan rasa nyaman dan aman bagi Ayah dan juga Ibuku, karena Aku sadar, sebesar apapun yang akan kami berikan kepada Ayah atau ibu, tak bisa membalas apa yang pernah dilakukan Ayah untuk Aku dan saudara/saudariku. Sungguh Aku bangga padamu, Ayah. Aku bangga memiliki Ayah seorang nelayan. Terima kasih Ayah. ***

*Bubu             : Alat perangkap ikan tradisional yang dianyam menggunakan bambu atau ‘bulu’
*Bareke          : Alat tembak ikan tradisional yang digunakan nelayan Pura dan Ternate, Alor
Oesapa, Februari 2016


Cerpen ini telah dipublikasikan di Harian Timor Express, Minggu (28/2/2016) lalu

Post a Comment

0 Comments