Subscribe Us

header ads

'Kubur' Stigma Buruk Alor, Goodbye Asrama Sambolo!

Masih ingat Sambolo? Ya, itu nama salah satu asrama di RT 015/ RW 006, Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang. Saya tidak tahu banyak soal asrama itu, karena saya masuk kuliah tahun 2009. Akibat ulah manusia bertangan jahil, berpikiran kerdil, Asrama (As) Sambolo dilahap si jago merah Minggu (22/11/2009) sekira pukul 00.30 Wita. Ratusan mahasiswa kemudian kehilangan tempat tinggal. Menurut penuturan para senior, Sambolo umumnya dihuni mahasiswa asal Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Entah mengapa, meski Pemerintah Daerah (Pemda) Alor telah mendirikan dua buah Asrama Pemda. Namun, sambolo tetap menjadi primadona mahasiswa Alor. Sekitar ratusan kaum intelek asal Alor menghuni As. Sambolo. Itu membuat asrama itu kerap disebut miniatur Alor di Kupang. Tak heran, orang menganggap apa yang dilakukan di asrama itu kemudian merepresentasikan Alor pada umumnya. Banyak jebolan As. Sambolo yang berhasil wisuda pada waktunya, bahkan sukses di dunia usaha maupun pemerintahan. Namun, ada pula yang lamban bahkan ‘tidak habis’.


Berbagai konflik horizontal bernuansa Suku, Ras dan golongan kerap menyeret beberapa nama mahasiswa Alor. Karakter dan moralitas menjadi barang mahal. Masalah sepele bisa berujung maut. Saya jadi heran, ada orang yang duduk di pinggir jalan, lantas berharap setiap pengguna jalan memberlakukannya sebagai dewa. Padahal, orang melintasi jalan karena hasil bayar pajaknya. Saya juga heran, ada yang cepat-cepat tersinggung jika ada orang yang menatapnya terlalu lama. Ini adalah sebagian kecil motif dari adanya konflik itu. Yang lebih besar pun ada. Beberapa media massa di Kupang pernah menulis konflik di Oesapa. Nama As. Sambolo kemudian menjadi representasi kelompok mahasiswa asal negeri seribu moko. Syukuran wisuda kemudian menjadi simbol ucapan terima kasih belaka atas sebuah keberhasilan. Namun, dibalik itu, ada pesta terselubung; pesta wisuda, pun pesta miras.

Kontrol diri kemudian berkurang kala pesta wisuda. Otak yang digadang-gadang mampu mengontrol kemampuan konsumsi miras seakan tak ‘mempan’. Sebaliknya, Alkohol kemudian mengontrol otak para kaum intelek kita saban hari. Berdasarkan penuturan yang saya dengar, saya kemudian berani menyebutnya dengan ‘kita krisis kemanusiaan’. Ibarat setitik nila merusak susuk sebelanga. Apa yang diperbuat segelintir mahasiswa kemudian menyeret nama mahasiswa Alor, bahkan masyarakat Alor pada umumnya.
Stigma orang-orang terhadap orang Alor menjadi negatif. Sopan santun dalam menyapa, saling menerima, menghargai, menolong, bersimpati dan empati yang konon menjadi budaya orang Alor, kemudian jadi mahal sekali di Sambolo. Pun soal solidaritas. Ini otokritik. Solidaritas kita untuk sesuatu yang konstruktif masih mahal. Di sana-sini kita malah saling menjatuhkan. Padahal, ‘kita deng kita.’ Masih ada sebagian yang doyan bersolidaritas untuk sesuatu yang destruktif. Semisal, mengajak sesama mahasiswa Alor untuk ikut tawuran. Sejatinya, kita tidak halalkan dendam dan menganut paham mata ganti mata, tapi rasa saling menerima, menghargai, menolong, bersolider dan berbelas kasihan sebagai sesama ciptaan Tuhan, harus disebarkan. Singkatnya, nilai-nilai kebajikan harus tertanam dan terpancar dari perilaku setiap kita.

Hingga saat ini, kita harus berani melepas kebiasaan dan kultur hidup yang kita terima dari hasil sosialisasi, imitasi maupun sugesti dari para senior kita. Maksud saya, bukan kita melupakan nama As. Sambolo, namun kita melupakan karakter dan tabiat buruk yang nyaris hendak ditinggalkan kepada generasi-mahasiswa masa kini. Saya kira tidak salahnya, sebaiknya kita mengikuti nilai dan karakter yang telah kita peroleh dari ajaran Agama, budaya maupun petuah dan nasehat orangtua kita. Saya kira tidak berlebihan, tetapi inilah cara terpuji nan mulia guna mngembalikan citra dan martabat orang Alor pada umumnya.
Dengan demikian, kita tidak terus menerus terjajah dengan ucapan, sindiran dan stigma buruk yang ‘dilayangkan’ orang lain di telinga kita. Kembali lagi, soal As. Sambolo. Hangusnya As. Sambolo, hemat saya, bukan soal kekalahan dalam sebuah pertarungan fisik apalagi intelektual, tetapi sebagai sebuah tanda dan akhir dari stigma buruk orang lain terhadap Alor.
Mari merenung: Bagi kaum Muslimin tentu meyakini penegasan dalam Alquran Q.S Ar-Rad (13): 11, yang artinya :“ Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada oleh mereka sendiri”. Bagi kaum Kristiani, Alkitab dengan tegas memperingati: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah; apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna.” (Roma 12:2) Mari merenung. Mari kubur stigma buruk Alor. Goodbye (selamat jalan) As. Sambolo!


Sumber foto: Zoom Alor

Post a Comment

0 Comments